Minggu, 21 September 2014

Grand Noir 14 Alternative (Last)

Setelah pertarungan melawan Benhard, Berg bersama pengikutnya sudah tidak berminat untuk mencari pedang terakhir. Mereka kini hanya berkelana untuk menikmati hidup mereka yang sudah tak ingin menumpahkan darah orang lain. Dengan kendaraan seadanya, mereka kini sedang menuju monumen terbesar di daratan itu, Grand Noir.

"Berg, aku lapar," kata Ed yang lemas karena belum makan dari pagi. "Ambil saja roti yang tadi baru kubeli," jawab Berg yang tidak ingin konsentrasinya terganggu. "Roti yang mana?" tanya Ed. "Maksudmu yang ini?" tanya Viona sambil menyodorkan plastiknya. "Isinya mana?" tanya Berg. "Sudah kami makan," sahut Geara dan Viola yang mengunyah roti itu tanpa rasa bersalah. "Haaaaah!? Kejam sekali kalian!!!" teriak Ed. "Berisik!!!!" Berg memukul Ed agar diam. "Hiks, sedihnya nasibku..." keluh Ed. Mendadak Berg menghentikan mobilnya.

"Ada apa?" tanya Geara. "Temanmu lagi," jawab Berg sambil menatap mematikan mesin mobilnya. "Yo, senang bisa berjumpa dengan kalian," sapa Chanson dengan ramah. Dia pasti sudah tahu kita akan kesini dan menunggu, batin Berg dan lainnya. "Ada perlu apa?" tanya Geara. "Tidak ada, hanya ingin menumpang saja. Kalian mau ke Grand Noir kan?" tanya Chanson. "Kalau iya, kenapa?" tanya Ed. "Bolehkah aku menumpang?" Berg berpikir sebentar melihat mobilnya yang belum sempat diperbaiki. "Haah~"

"Terima kasih ya kalian sudah memperbolehkanku menumpang," ucap Chanson dengan sopan. "Tak apa, mengingat kau tahu kami akan kesana, kau pasti tahu sesuatu," ujar Berg. "Wah, sepertinya aku sumber masalah ya?" ujar Chanson sambil memasang senyum licik. "Ah, kita sudah sampai!" kata Viola sambil menunjuk ke monumen tinggi berbentuk sayap yang berada sekitar 500 meter di depan mereka. "Bagus sekali ya..." ujar Viona tertegun. "Hei, kau masih lapar?" tanya Geara pada Ed yang sejak tadi terdiam lemas. "Un..." Mereka pun berhenti di depan monumen tersebut.

"Hee, jadi ini ya Grand Noir itu?" ujar Chanson. "Monumen yang sudah ada sejak tanah ini muncul, ada rahasia apakah di dalamnya?" tanya Geara yang terpesona oleh keindahannya. "Pertanyaan bagus!" kata Chanson yang mendadak mengeluarkan pedangnya. "Apa yang ingin kau lakukan!?" tanya Berg. "Tentu saja mencari tahu apa yang ada di dalamnya!" Dengan sekali tebas, monumen itu telah berlubang. "Bodoh!" bentak Geara. Ed, Viona, dan Viola langsung saja berlari ke dalam karena penasaran apa yang ada disana. Setelah beberapa detik, mereka keluar lagi dengan ekspresi seakan sedang dikejar setan.

"Apa yang ada di dalamnya!?" tanya Berg. "Nggak tahu! Yang pasti kita harus lari!" jawab Viona. Mendadak lubang itu menghisap semua yang ada di sekitarnya seakan di dalamnya ada medan gravitasi yang kuat. Mereka mencoba untuk kabur, tapi semuanya terlambat. Mereka semua terhisap ke lubang tersebut. Mereka pun tak sadarkan diri. Ketika terbangun, mereka terkejut menemukan diri mereka sudah ada di tempat lain. Di sekitar mereka berdiri gedung-gedung tinggi dengan desain futuristik. Berg yang kebingungan bertanya pada seseorang yang lewat. "Dimana ini?" tanya Berg. "Anda tidak tahu ini dimana? Ini J-Town," jawab orang tadi. Mendengar nama tempat yang tak pernah dia ketahui, Berg terdiam. "Dimana ini...?"

"Hei Berg, ini dimana?" tanya Ed. "Kita tersesat ya?" tanya Viona dan Viola bergantian. "Ini J-Town..." jawab Berg pelan. "J-Town? Tempat macam apa ini? Aku tidak pernah mendengar nama itu sekalipun, dan nama itu tidak ada di peta!" kata Geara panik. "Hahaha! Menarik kan kalau kita mencoba sesuatu yang nekat?" kata Chanson yang puas. "Diam kau, ini semua terjadi karena ulahmu!" kata Berg sambil memukul wajah Chanson. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ed. "Yah, karena sudah sampai kesini, kenapa kita tidak jalan-jalan dulu?" ujar Geara memberi saran. "Benar juga, ayo kita nikmati dulu tempat ini, mungkin saja kita bisa tahu bagaimana cara untuk pulang.

Mereka pun berjalan-jalan di kota itu. Semua yang mereka lihat benar-benar berbeda dengan apa yang biasa mereka lihat. Tidak ada yang membawa senjata disini. Semua orang bersikap seakan disini tidak akan muncul mara bahaya. Mereka pun terbiasa dengan keadaan ini. "Eh, pedang kita dimana?" tanya Ed. "Pedangmu kan ditinggal di mobil," jawab Berg sambil mencoba mengeluarkan pedangnya. "Tidak ada?" ucap Berg tercengang. "Heh, kalian tidak tahu ya kalau pedang kalian itu berasal dari Grand Noir?" tanya Chanson. "Apa maksudnya?" tanya Berg bingung. "Lima, eh tidak, empat pedang suci itu sebenarnya berasal dari Grand Noir," jelas Chanson. "Lalu bagaimana dengan pedang kelima?" tanya Ed. "Pedang kelima itu adalah Grand Noir sendiri," jawab Chanson. "Jadi sekarang, mari kita nikmati kehidupan damai di dunia ini dan beristirahat sebentar," ajak Chanson sambil menjatuhkan dirinya di lapangan rumput. Yang lain pun ikut berbaring di atas rumput dan memandang langit biru yang cerah. "Hidup damai seperti inilah yang didambakan semua orang..."

Grand Noir 14 (Last)

"Lenyaplah kalian..." ucap Benhard sambil menghunuskan pedang Hazel ke arah Berg dan kawan-kawan. "Ini semua gara-gara kau!" bentak Berg ke Ed. "Ya maaf!" kata Ed. Sementara itu Viona dan Viola menghadapi Nami sang waiter. Di lain tempat, Geara dan Chanson sedang bertemu.

Beberapa menit sebelum ini...


"Sepertinya kita harus cepat mendapatkan pedang itu," ucap Berg. "Kenapa?" tanya Ed. "Mungkin saja itu pedang terakhir yang belum jatuh ke tangan kita ataupun Chanson. Kita punya Virtue dan Lancelot, orang itu punya Hazel, mungkin saja Chanson punya Vincent dan Saviour," jelas Geara. "Serahkan saja padaku!" Ed langsung pergi ke rumah sang pemilik Hazel.

"Serahkan pedangmu!" perintah Ed sambil mengangkat pedangnya. Pemilik pedang Hazel itu tersinggung dan mengayunkan pedangnya. Mereka berdua pun beradu pedang. Si waiter yang sadar kalau Berg dan yang lain akan datang langsung menyambutnya. "Selamat datang!" Viona dan Viola mengeluarkan pedang mereka dan menghadapi si waiter bernama Nami, Berg membantu Ed, sementara Geara pergi ke suatu tempat. Berg terkejut melihat Ed dan Benhard yang sedang beradu pedang. Ed pun dihempaskannya. "Apa yang sudah kau lakukan?" tanya Berg. Ed menjelaskannya dengan singkat. "Bodoh!"

Berg mengeluarkan pedangnya dan menghadapi Benhard. "Aku tak pernah melihatmu, kalau kau memang pemilik pedang itu, kau pasti ikut perang 1 tahun yang lalu!" ujar Berg. Benhard tidak menjawab. Mereka berdua terus menyerang satu sama lain.

Viona dan Viola yang melawan Nami tidak mengalami kesulitan berarti. "Warna merah di matamu tidak terlalu terang, karena itulah kau bisa kalah dengan mudah..." ujar Viola yang menunjukkan mata merahnya. Nami hanya pasrah. "Sebenarnya..." Dia pun menceritakan kenapa temannya bisa memiliki pedang Hazel. "Apa? Jadi kau tahu kalau orang itu bukan pemilik asli pedang Hazel?" tanya Geara. "Begitulah, makanya aku tidak tertarik untuk merebutnya dari orang itu," ujar Chanson sambil tersenyum. Geara pun buru-buru ke tempat Berg dan Ed.

"Oh, jadi kau saudara kembar Benhur? Pantas saja aku merasa kau mirip seseorang!" Berg pun mengeluarkan aura dan mengalahkan Benhard dengan mudah. "Serahkan pedang itu sekarang," ucap Berg. Benhard yang sudah tak bisa melawan menyerahkan pedang itu kepada Berg. "Uagh!" "Kenapa kau!?" tanya Berg. Perlahan tubuh Benhard berubah menjadi monster. "Sudah kuduga, dia sudah termakan pengaruh pedang itu," ujar Chanson. "Sepertinya aku harus turun tangan..."

Benhard yang telah berubah menjadi monster berbentuk kepiting, sulit untuk dijelaskan, yang pasti kedua tangannya berbentuk kecapit. Makhluk itu pun menyerang Berg dengan kecapitnya. "Sepertinya tubuh besar memang identik dengan lambat ya!" ujar Berg yang berkali-kali menghindar. Monster itu terus menyerang Berg dengan kecapitnya yang keras dan tajam tanpa kenal lelah. "Ngotot sekali kau!" Berg pun mengayunkan pedangnya ke arah Benhard.

"Apa!?" Pedang Virtue milik Berg tak bisa melukai Benhard sedikitpun. Berg berkali-kali menyerang monster itu tapi hasilnya nihil. "Sial!" Berg mengeluarkan aura dan pedangnya menjadi lebih kuat. "Habis kau!" Serangan kali ini pun tak berarti bagi Benhard. "Bagaimana mungkin...?"

"Sepertinya kau perlu bantuan," ucap Chanson yang baru saja tiba bersama Geara. "Pulang saja kau!" kata Berg. "Wah, ucapan yang kasar yah, apa boleh buat..." Chanson pun mengeluarkan pedang Lancelot sementara Geara mengeluarkan Vincent. "Heh, pedang kalian berdua mirip yah... Kalau begitu bantu aku sekarang!" bentak Berg yang sejak tadi menahan serangan Benhard.

Mereka bertiga pun menyerang secara serentak. "Kalau seperti ini jadi ingat masa lalu ya," ujar Geara. "Ucapanmu seperti orang mau mati," ledek Chanson. "Diamlah kalian berdua!" bentak Berg. "Masih saja suka membentak ya kau ini," keluh mereka berdua. Mereka terus-terusan menyerang di satu titik. Perlahan tapi pasti, tubuh Benhard dapat ditembus dan akhirnya berhasil dihancurkan.

"Hah!?" Bagian yang pecah itu pun pulih kembali. Berg mendecak. Geara terdiam. Chanson tersenyum. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Berg. "Gunakanlah Hazel," ujar Chanson memberi saran. "Aku bukan pemilik pedang ini!" kata Berg. "Siapa bilang kau gunakan Hazel begitu saja? Gabungkan dengan Virtue!" kata Chanson. "Bagaimana caranya?" tanya Berg. "Begini!" Chanson dan Geara menyilangkan pedangnya. "Avalon!" Pedang itu pun menjadi satu. Berg yang merasa itu keren menyilangkan kedua pedang di tangannya. Kedua pedang itu pun berpadu menjadi satu. "Lontue!" Berg pun maju dengan pedang barunya.

Dengan kekuatan barunya, Berg menyerang Benhard yang sudah tidak berwujud manusia. Pedang Lontue yang bagaikan panzer itu terus bersinar dan mengeluarkan aura membara. Bahasa lebay tiada tara. Lho?

Benhard terus memukulkan capitnya. Namun dengan mudah Berg mampu menghancurkannya. "Apa!?" Benhard terkejut. Belum sempat memulihkan capitnya, Benhard sudah diserang dengan Avalon milik Chanson dan Geara. Terlihat sekali perbedaan kekuatan di antara kedua pihak. Benhard pun sudah tidak punya kekuatan untuk memulihkan tubuhnya.

"Habisilah dia," ucap Chanson sambil menoleh ke arah Berg. Berg hanya terdiam. "Aku tidak mau," katanya. Chanson dan Geara membeku. Keduanya menatap Berg dengan pandangan tak percaya. "Apa maksudmu!? Kalau kau tidak membunuhnya sekarang, dia akan mengamuk lagi!" bentak Chanson. "Tapi aku sudah lelah membunuh..." ucap Berg. Geara yang merasa sedikit kesal memukulnya. "Jangan manja, Berg!" bentaknya. Berg diam sebentar, lalu bangkit dan bertanya, "kenapa tidak kalian saja yang membunuhnya?"

Geara dan Chanson terdiam sebentar. "Benar juga ya! Hahaha!" Mereka berdua pun menghabisi Benhard dengan penuh kenikmatan. "Kejamnya..." Viona, Viola, dan Nami yang tanpa disadari sudah berada disana terkejut melihat pembantaian itu. Nami yang tidak tahan melihat itu menangis dan meratapi mayat Benhard. Dia pun menangis histeris. "Benhaaaaaard!!!"

Geara membawa Viona dan Viola pergi dari sana.

"Mau kau bawa kemana mereka?" tanya Ed.

"Aku memiliki firasat buruk, jadi untuk sementara waktu aku akan menjaga mereka," jawab Geara dan menghilang dari hadapan Berg dan Ed.

Berg dan Ed pun meninggalkan Nami yang sedang menangis melepas kepergian temannya sementara Chanson pergi ke arah yang berbeda bersama Habanera. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka.

"Mau apa lagi setelah ini?" tanya Ed kepada Berg. Berg tidak menjawab. Dia kelelahan karena pertarungan melawan Benhard. Kekejaman Chanson dan Geara pun menambah beban pikirannya sehingga lelahnya menjadi lebih berat dari yang seharusnya.

"Aku sudah lelah dengan semua ini," kata Berg.

"Aku ingin mengasingkan diriku sendiri di sebuah desa yang jauh dari konflik dan hidup tenang bersama keluargaku," tambahnya.

Ed kebingungan. "Tapi kan kau tidak punya..."

"Pasangan bisa dicari dengan mudah," potong Berg yang sudah tahu apa ujung kalimat Ed.

"Kau sudah lupa apa tujuanmu memulai perjalanan ini!?" tanya Ed yang ingin meyakinkan Berg.

"Iya, aku sudah lupa," jawab Berg sambil memandang jauh ke depan.

"Sudah ya, aku ingin pergi sendirian saja. Kalau kau masih ingin memburu pedang-pedang itu, lakukan saja dengan orang lain. Aku sudah tidak peduli."

Setelah mengucapkan itu, Berg meninggalkan Ed di pinggir kota dengan menaiki kereta kuda. Ed yang kini sendiri berjalan di pinggiran kota. Dia berpikir untuk mengejar pedang lainnya, tapi dia tahu kalau dia tidak mampu untuk melakukannya seorang diri. Dia juga tidak tahu bagaimana cara memanggil Geara. Seorang diri dia melangkah menjauh dari kota. Tanpa dia sadari, dia sudah berada di tengah-tengah padang rumput.

"Ini dimana...?"

Ed mendadak panik. Dia tidak mempersiapkan apa-apa. Hanya pedang yang dia bawa. Tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari langit.

"Ng?" Ed menoleh ke atas dan melihat ada benda bulat besar dikelilingi api dan cahaya sedang menuju ke arahnya.

"Aduh...."

Ed panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia tahu lari pun tidak akan menyelamatkannya melihat ukuran benda itu yang sangat besar. Dia berpikir untuk menghancurkannya dengan pedang yang dia bawa. Tapi dia sadar kalau kemampuan pedangnya bukanlah untuk menghancurkan.

"Yah, sudahlah..."

Benda besar itu pun menghantam padang rumput beserta apapun yang berada di atasnya. Ledakan besar terjadi, namun tidak ada yang berubah. Ledakannya pun hilang begitu saja. Hanya Ed yang menghilang dari padang rumput tersebut.

-END-

Grand Noir 13

Berg dan kawan-kawan masih mengembara tak tentu arah. Dengan kata lain, mereka hanya buang-buang bahan bakar. Meskipun begitu, mereka tetap bisa kemana-mana tanpa merasa susah. "Uangnya dari mana sih?"

Suatu ketika, mereka sampai di kota Tiara.

"Kali ini apa?" tanya Berg pada dirinya sendiri. Mereka pun berhenti di sebuah restoran untuk mengisi perut.

"Sepertinya yang ini enak," ucap Geara sambil menunjuk salah satu gambar makanan di daftar menu. 

"Terserah kau lah..." ucap Berg.

Setelah memilih makanan, mereka pun memanggil pelayannya. Kebetulan waiter yang mereka panggil bermata sedikit merah. Setelah beberapa lama menunggu, mereka pun menikmati hidangan mereka. "Enak~"

Setelah mengisi perut, mereka pergi dari restoran itu. Di depan pintu restoran, Viola berhenti melangkah.

"Kenapa, Viola?" tanya Ed.

"Waiter tadi..."

"Kenapa waiter tadi?" tanya Viona.

"Matanya..."

Geara pun memikirkan hal itu. "Untuk sementara, kalian pergi saja," ujar Geara.

"Kalian berdua bagaimana?" tanya Berg.

"Nanti akan kami kabari lagi," jawab Viola.

"Ya sudah."

Berg, Ed, dan Viona masuk ke dalam mobil dan pergi dari sana.

"Sekarang, ayo kita menjadi mata-mata!" ucap Viola. Mereka pun memata-matai waiter yang tadi. Setelah bekerja sampai sore, waiter tadi pun pulang. Viola dan Geara masih mengikutinya. "Kok aku jadi merasa bersalah ya?" ujar Geara. "Ssssh... lihat itu. Itu bukannya..." "Hazel!" Mereka berdua pun langsung mendatangi waiter itu. "Kalian, yang tadi siang kan?" tanya waiter itu. "Aku mau tanya, apa akhir-akhir ini ada orang yang mencarimu untuk meminta pedang itu?" tanya Geara. "Tidak ada, kenapa? Kalian siapa?" tanya teman si waiter. "Ah, tidak apa-apa. Viola, ayo kita pergi," ucap Geara dan meninggalkan kedua orang itu.

"Heh, sudah kuduga, benar mengikuti kalian..." ucap Chanson yang berdiri di balik tembok. "Haruskah kita ambil sekarang?" tanya Habanera. "Nanti saja, tak ada artinya mendapatkan pedang itu tanpa melawan mereka! Setelah ini, kita akan menari tango untuk memperebutkan pedang seperti anak kecil yang rebutan mainan!" kata Chanson dan meninggalkan tempat itu bersama Habanera.

"Apa yang kalian dapatkan?" tanya Berg ketika Geara dan Viola kembali. "Keberadaan pedang pusaka Hazel, itu saja," jawab Geara. "Ah, aku ngantuk~" kata Viola dan langsung jatuh di atas kasur. "Dasar," kata Viona. "Lalu, apa yang kau rencanakan?" tanya Ed. "Entahlah, mungkin saja setelah ini akan ada perebutan," jawab Geara. Matahari tenggelam, malam pun datang dengan cahaya bulannya yang menyinari dunia.

Pada malam hari, semua orang terjaga. Tidur nyenyak yang didambakan setiap orang. Night Party yang dinikmati banyak kawula muda. Namun tidak bagi Berg dan kawan-kawan. Mereka harus terus mengawasi teman waiter yang memiliki salah satu pedang pusaka, Hazel.

"Kenapa aku ikutan?" keluh Ed. "Aku ngantuk~" kata Viola. "Tadi kau sudah banyak tidur kan!?" bentak Viona. "Makanya aku ngantuk," ucap Viola. "Terserah deh. Sementara itu, Berg dan Geara berjaga di depan dan di belakang rumah. Kalau keadannya seperti ini, wajar saja kalau orang yang melihat akan berteriak, "maling!!!"

"Yo! Kerja lembur ya?" tanya Chanson yang tiba-tiba muncul di balik kegelapan malam. "Chanson!" Geara terkejut dan mengeluarkan pedangnya. 

"Eit eit, jangan begitu lah~ apa kau mau memecah keheningan malam?" ujar Chanson.

Geara pun memasukkan pedangnya lagi. "Mau apa kau kesini?" tanya Geara.

"Hanya ingin mengatakan pada kalian kalau aku tidak tertarik dengan pedang Hazel," jawab Chanson dan membalikkan tubuhnya.

"Apa maksudmu!?" Chanson hanya melambai rendah dan menghilang di kegelapan malam.

"Dasar sial..."

Esok paginya...

"Apa!? Tadi malam kau bertemu Chanson!?" tanya Berg terkejut.

"Makan dulu baru bicara," kata Viona.

"Berg jorok yah," bisik Viola.

"Iya iya," gubris Ed.

"Diam kalian semua!"

Mereka pun diam dan meneruskan makan dengan tenang.

"Lalu dia bilang apa?" tanya Berg.

"Dia cuma bilang kalau dia tidak tertarik dengan Hazel," ucap Geara. Keadaan pun hening kembali.

Di lain tempat, seperti biasa Chanson sedang bersantai bersama Habanera. Sambil bersantai, Chanson menulis sesuatu di buku catatannya. Terlihat Chanson sedang ingin bermalas-malasan sambil mengawasi Berg dengan santai melalui monitornya.

"Tuan, kenapa anda bilang tidak tertarik dengan pedang Hazel?" tanya Habanera.

"Entahlah, aku hanya punya firasat buruk pada pedang itu," jawab Chanson.

"Lalu bagaimana tuan bisa menyelesaikan proyek tuan?" tanya Habanera lagi.

"Wah, bagaimana ya... Yah, untuk sementara aku ingin bersantai dulu sementara mengobservasi mereka," ujar Geara. "Kalau mereka bisa mendapatkan Hazel, kita mulai pestanya!"

Grand Noir 12

Chanson duduk di teras rumahnya yang indah dan dipenuhi bunga-bunga. Dia memperhatikan kumbang yang menempel di atas daun, kupu-kupu yang hinggap di bunga, dan lebah yang berputar-putar. Tiba-tiba lebah itu terbang ke arah Chanson dengan cepat, Chanson pun terkejut dan bangkit dari duduknya. Dengan sigap Habanera menarik pedangnya dan membelah lebah itu jadi dua. "Haah haah... terima kasih Habanera," ucap Chanson yang terkejut karena lebah tadi dan duduk lagi. "Bagaimana dengan Arctic?" tanya Chanson. Habanera masuk ke dalam rumah dan memanggil Arctic. Setelah beberapa saat Arctic pun keluar.

"Bagaimana dengan Berg?" tanya Chanson. "Kata Geara, silahkan tuan datangi mereka karena mereka tidak akan datang ke tempat tuan, begitu katanya," lapor Arctic. Chanson hanya tertawa mendengarnya dan menyuruh Arctic masuk ke dalam rumah. "Kau lucu juga, Geara..."

"Huashyu! Duh, kok aku bersin ya..." ucap Geara. "Wajar saja, tadi malam kau terus-terusan minum jus dan mandi di tengah malam, wajar saja kau bersin!!!" bentak Berg. "Ya sudah lah..." ucap Geara sambil memalingkan wajahnya ke jendela. "Berg, sekarang kita mau kemana sih?" tanya Viona. "Sejujurnya, kita hanya berpindah-pindah tempat saja karena sedang tidak ada tujuan," jawab Berg. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita kesini?" tanya Vila sambil menunjukkan poster arena taman bermain di kota Chasse. Berg terdiam sejenak. Melihat Geara dan Ed yang terlihat juga mau kesana, Berg tak punya pilihan lain selain menyetujuinya. "Yey!" Setelah dua jam, mereka pun sampai di Chasse.

Taman bermain itu cukup ramai sehingga mereka harus antri ketika ingin mencoba suatu wahana. Entah karena apa, Berg dan Geara ingin mencoba Bom-Bom Car sementara Ed, Viona dan Viola menikmati wahana komedi putar. Saat mengantri, Berg kaget melihat orang yang ada di sampingnya. "Chanson!?" "Berg!?" "Sedang apa kau disini!?" "Melepas penat." "Yo Habanera," sapa Geara. "Kau juga disini?" Habanera bingung. Mereka berempat pun bermain bersamaan. "Kau mengincar Virtue kan!?" tanya Berg dan menabrakkan mobilnya ke mobil Chanson. "Begitulah, tapi aku tidak terburu-buru kok," Chanson menghindari Berg dan menabraknya dari samping. "Geara, kenapa kau meninggalkan kami?" tanya Habanera. "Entahlah, aku hanya merasa lebih menarik kalau mengembara bersa mereka," jawab Geara. Mobil mereka pun saling beradu. Setelah beberapa menit, permainan pun berakhir. Mereka pun berkumpul di depan wahana roller coaster. "Mau coba yang ini?"

"HUAAAAA!!!!!!" Semua yang menaiki wahana itu berteriak, pasti berteriak. Walaupun begitu, Viona dan Viola tertawa karena girang. Berg dan Chanson yang duduk berdampingan pun menjerit sementara Habanera dan Geara hanya menutup mata sambil menggenggam pegangan erat-erat. Ed yang duduk di sebelah seorang perempuan bersikap sok keren dan memegang tangan perempuan itu. "Mesum!" teriak perempuan itu dan menampar Ed. Setelah dua putaran, permainan pun berakhir.

"Kau tidak ingin bertarung denganku sekarang?" tanya Berg. "Tidak perlu, kan sudah kubilang, aku tidak terburu-buru," jawab Chanson. "Kalau begitu kami permisi dulu," ucap Habanera dan pergi bersama Chanson. "Kita akan bertemu dalam waktu dekat," ujar Geara. Chanson hanya melambai rendah. "Orang-orang yang menarik," ujar Chanson. "Begitukah?" tanya Habanera. "Berg, tadi itu musuh kan?" tanya Ed. "Yah, sesekali seperti ini tidak apa kan," ucap Berg. Viona dan Viola yang sudah lelah terlelap di dalam mobil. "Ayo kita pergi," ucap Berg. "Kemana?" tanya Geara. "Ke arah angin bertiup..."

Grand Noir 11

Matahari bersinar terik. Sangat terik sehingga orang-orang malas berada di luar rumah kalau tak ada urusan yang terlalu penting. Yang terlihat hanyalah orang-orang yang sedang bekerja.

"Hei Geara, apa-apaan ini!?" keluh Berg. "Lho, kenapa?" tanya Geara. "Kau sendiri kan yang bilang kalau tidak ada waktu lagi untuk menghentikan Chanson!?" bentak Berg. "Tenang saja. Seperti yang kubilang, Chanson tak akan bergerak sebelum kelima pedang pusaka terkumpul," ucap Geara sambil memilih-milih buah. Berg hanya bisa diam menatap Geara yang terlihat santai. "Toh, kalau kita tidak mendatanginya, dia yang akan mendatangi kita," tambahnya. Geara pun membeli beberapa buah untuk dimakan. "Terima kasih, ini kembaliannya."

Viona, Viola, dan Ed menunggu mereka berdua di dalam mobil. Mereka pun kepanasan sehingga menyalakan AC di mobil. "Eh eh, aku penasaran deh," kata Ed. "Kenapa?" sahut Viona. "Ada banyak benda-benda yang memiliki kemampuan yang lebih seperti pedang Virtue, pedang Sefer, flying boardnya Viola, dan banyak lagi, bagaimana membuatnya ya? Aku jadi penasaran..." Ed berpikir sejenak. "Sihir," ucap Viola dengan lugu. "Jadi yang seperti itu ada ya?" tanya Ed sembari menoleh ke Viola. "Lalu api yang ada di tanganku ini apa?" ujar Viola sambil memunculkan api di telapak tangannya. "Huaaaa!!! Viona, aku tak tahu apa-apa tentang itu! Apa kau tahu!?" tanya Ed histeris. "Tahu kok," jawab Viona sambil memainkan listrik di telunjuknya. "Huaaaa!!! Aku tak tahu apa-apa! Bagaimana mungkin!?" teriak Ed. "Mungkin saja, kamu kan bodoh," ujar Viona meledek Ed. "Ajarkan aku!" pinta Ed sambil meremas tangan Viona. "Ah malas~" kata Viona. "Ayolah~" pinta Ed. "Sepertinya kalian bersenang-senang yah," ujar Berg yang datang bersama Geara membawa beberapa kantong plastik. "Apa itu?" tanya Ed. "Persediaan ransum kita selama perjalanan nanti," jawab Geara. Mereka pun berbenah dan melanjutkan perjalanan.

"Hei Berg, apa kau bisa sihir?" tanya Ed. "Kalau soal itu, tanyakan saja pada si bodoh ini," ucap Berg sambil menunjuk Geara. "Sihir itu ya, begini, terus begitu, mmm, ya pokoknya begitu!" jelas Geara sambil memperlihatkan beberapa sihir mudah. Siapa pun tak akan mengerti kalau menjelaskannya seperti itu, batin Ed dengan muka kecut. "Intinya, kau harus yakin kalau kau bisa melakukannya," tambah Geara sambil tersenyum. "Oh..." Ed hanya terdiam dan mencoba berpikir kalau dia bisa, namun gagal. Viona dan Viola hanya tertawa kecil melihat Ed yang tak tahu apa-apa soal sihir. Terlihat seseorang dari kejauhan menghentikan mobil mereka. "Ah, ada orang," ucap Berg. Ketika Berg ingin menginjak rem, Geara menahannya dan menekan pedal gas dengan kencang.

"Apa yang kau lakukan!!!?" tanya Berg panik. "Tenang saja..." ujar Geara dengan tenang sambil cengar-cengir. Melihat mobil semakin kencang, orang itu pun melompat minggir. "Kau itu ngapain sih!?" tanya Berg kesal. "Aku kenal dia, namanya Arctic, bawahannya Chanson juga," jelas Geara. "Oh, untung saja..." kata Berg lega. "Siapa bilang kita bisa lega? Lihatlah ke belakang," ucap Geara. Terlihat orang yang tadi mengejar mereka dengan mengendarai Golem. Ada ya Golem yang bisa mengejar mobil, batin mereka.

Berg menghentikan mobilnya dan keluar dari mobil. Begitu pula dengan Geara. "Berhenti juga kau," kata Arctic. "Kau mau apa?" tanya Berg. "Tak perlu basa-basi disini, serahkan pedang suci yang kalian miliki!" kata Arctic dengan nada memerintah. Berg melepas napas panjang dan berjalan ke arah Arctic sambil mengeluarkan pedangnya. "Oh, kau cepat mengerti ya," Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, wajahnya sudah dihantam dengan pedang. Arctic pun terjerembab. Golemnya ingin membantu tapi Geara sudah mengarahkan pedangnya ke wajah Golem. "Lebih baik kalian pergi dari sini sekarang karena cuacanya membuatku tak tahan..." ujar Berg. "Oh begitu, kau tidak tahan panas ya!? Lemah!!!" Arctic pun bangkit dan melesat ke arah Berg.

BUAGH! Dengan sekali pukul, Arctic langsung kalah. "Kembalilah ke tempat bosmu dan sampaikan padanya..." Dengan cepat Geara menutup mulut Berg dan berkata, "sampaikan pada Chanson kalau dia ada perlu dengan kami, datangi saja kami karena kami tak akan ke tempatnya." Arctic bangkit dengan perlahan, menaiki Golemnya, dan pergi dari sana. "Apa sih yang kau lakukan?" tanya Berg. Geara hanya tersenyum dan berkata, "ayo lanjutkan perjalanan." "Baiklah... ayo kita pergi... kalau begini terus aku bisa meledak." Mereka pun melanjutkan perjalanan di bawah langit mendung. "Cuaca sial, pantas saja tadi panas sekali!" keluh Berg. Geara hanya tersenyum. Ed mencoba mempelajari sihir mudah dengan Viona dan Viola. "Wah, aku mulai bisa!" teriak Ed gembira. "Berisik!!!"

Grand Noir 10

Setelah pertarungan itu, Berg dan yang lainnya beristirahat sambil menikmati pemandangan di pinggir danau Levia. Hanya Claude dan Boris yang memilih untuk langsung pergi.

"Berg, bagaimana rencanamu untuk pergi ke Agentum?" tanya Ed. "Santai saja lah," ucapnya santai. Mereka terlalu santai. Berg, Ed, dan Geara merebahkan diri di pinggir danau, Viona dan Viola bermain kejar-kejaran, sementara Gilbert, Alex, Marco, dan Rina memasak dari bahan-bahan yang sudah mereka kumpulkan sebelumnya.

"Pergi nanti pun tidak masalah," ujar Berg. "Pergi sekarang pun sudah terlambat," sela Geara. "Apa maksudmu?" tanya Berg. Geara hanya tersenyum dan memilih untuk tetap diam. "Silahkan sup naga nya!" Mereka pun menikmati sup naga buatan Rina dan kawan-kawan. "Enak!" Beberapa dari mereka sampai menangis saking enaknya.

"Sudah tidak ada waktu lagi, ayo kita segera ke Agentum," ucap Berg setelah menghabiskan supnya. Kok beda dengan yang tadi, pikir Ed. Apa karena dia selesai makan duluan, pikir yang lainnya. Setelah semuanya menghabiskan makanan, dan sedikit berbasa-basi tentunya, mereka melanjutkan perjalanan ke Agentum kecuali Gilbert, Alex, Rina, dan Marco. Mereka kembali ke kota Levia untuk meneruskan pekerjaan mereka.

"Geara, apa maksudmu dengan sudah terlambat?" tanya Berg. "Lihat saja nanti," jawabnya tanpa ekspresi. Berg yang malas memaksa memikirkannya sendiri. Karena tenggelam dalam pikirannya, mobilnya menabrak batu besar. Melihat mobilnya rusak cukup parah, dia membawanya ke bengkel di kota terdekat. "Geara, bayar." "Eh!?" Itu sudah perjanjian mereka berdua sehingga Geara menurutinya tanpa bisa mengeluh. Walaupun untuk pengeluaran tak penting sekalipun.

"Kau mengerjaiku ya!?" keluh Geara. "Perjanjian," ucap Berg sambil mengacungkan jempolnya. Geara merasa sebal, tapi tak bisa melakukan apa-apa selain diam. "Berg, berapa lama lagi sampai di Agentum?" tanya Viona. "Sudah terlihat di depan kalian bukan? Itulah Agentum!" ucap Berg. Viona dan Viola merasakan firasat buruk. Mereka pun turun dari mobil, dan menyusuri reruntuhan dengan berjalan kaki. "Asap apa itu?" tanya Ed. Berg yang merasa aneh dengan asap itu berjalan kesana. "Sudah terlambat, Berg..." ucap Geara. Berg tak mempedulikan ucapan Geara dan terus berjalan.

"Sepertinya aku melihat muka yang tak asing lagi..." Mendengar suara itu, Berg berhenti melangkah. "Suara itu, jangan-jangan..." Muncul seseorang sedang memegang relic dari dalam asap. "Lama tak berjumpa, Berg!" "Kau... Chanson Lohengrin!?" Berg terkejut melihat kawannya di Star5 ada di depannya. Ketika dia mendekatinya, sebuah serangan menghentikan langkahnya.

"Jangan seenaknya menyentuh Chanson," ucap seseorang yang mengendarai Golem. "Dia adalah orang penting, tak layak disentuh olehmu," tambah temannya. "Cielito, Habanera, tak perlu begitu, dia ini teman lamaku..." ucap Chanson menghentikan mereka. "Apa maksud semua ini!?" tanya Berg. "Dunia ini akan berubah..." Setelah mengucapkan itu, Chanson dan kawanannya pergi.

"Sudah terlambat kan kubilang?" ujar Geara. Berg hanya bisa terdiam. Ed, Viona, dan Viola tak bisa melakukan apa-apa. 

"Menarik juga... Akan seperti apa ya selanjutnya?" ucap Chanson sambil memandangi relicnya. "Bagaimana pun itu, kami tetap di samping anda," ujar Habanera. "Benar! Yang penting menarik!" sahut Cielito. Chanson tersenyum. "Yang akan membimbing umat manusia adalah aku, Chanson Lohengrin."

Grand Noir 9

Pertarungan antara Berg dan Geara masih terus berlanjut. Belum ada tanda-tanda keduanya akan menyelesaikan pertarungan. Api pertarungan terus berkobar dari diri mereka. Mereka pun terlihat senang dengan pertarungan itu.

"Aku mulai bosan dengan ini," keluh Rina. "Aku juga," sahut Alex. "Bagaimana kalau kita minum dulu?" ucap Gilbert menawarkan segelas teh. "Gilbert memang hebat, penuh persiapan!" puji Alex dan Rina. Ed dan Marco masih mengurus Claude. Entah karena dia hebat atau saking dia ketakutan, Claude terus-terusan mengelak dari serangan mereka berdua.

"Jadi cuma segini kemampuanmu?" ucap Viola yang sejak tadi mendesak Viona. "Harusnya itu kalimatku!" Viona mengeluarkan aura di Nadleehnya. Viola yang terkejut berhenti menyerang dan mundur. "Sejak tadi kau belum bertarung dengan serius?" "Begitulah, makanya jangan terlalu sombong!" Mendadak Nadleeh jadi berbayang. "Apa!?" Mendadak aura Seraphim keluar dan bisa beradu dengan Nadleeh. "Heaaaaah!" Ledakan aura pun terjadi.

Alex dan Rina yang memperhatikan pertarungan itu terkejut, bahkan tercengang hingga ternganga. "Baru segitu saja sudah kagum, mau jadi apa kalian?" ledek Gilbert. "Ledakan aura ini masih biasa, tidak seperti yang itu," tambahnya sambil menunjuk pertarungan Berg dan Geara. Alex dan Rina lebih tercengang lagi.

Di setiap benturan senjata mereka selalu terjadi ledakan aura. Seakan ada bom di permukaan senjata mereka. Meskipun begitu, mereka berdua bertarung seakan tak terjadi apa-apa. "Hebat juga kau!" "Jangan terlalu memujiku, Berg..." Pedang mereka beradu. "Tapi tetap saja, kau hanyalah ahli strategi!" Berg menendang perut Geara hingga terjerembab. "Kemampuan tubuhmu tidak terlalu hebat, prajurit biasa pun lebih kuat darimu." Geara tertawa kecil. "Begitulah... Tapi kau tak tahu kan apa senjataku sebenarnya?" Geara terdiam sejenak. Mendadak bangkai robot-robot tadi melesat ke arah Geara. Berg terkejut melihatnya.

"Kedua robot ini memang diciptakan untuk menjadi senjataku!" ucap Geara yang sudah dilengkapi armor Kazesta. Alex, Rina, dan Gilbert terkagum-kagum. "Keren~" teriak mereka bertiga mengacungkan jempol. Kalian di pihak siapa sih, batin Berg. "Hebat juga mainanmu," puji Berg. "Tentu saja, ini semua kupersiapkan untuk bertarung denganmu," ucap Geara.

"Jawab dulu pertanyaanku, apa yang ingin kau lakukan di Agentum?" tanya Geara. "Aku ingin mengambil sesuatu yang tertinggal," jawab Berg. "Apakah maksudmu ini?" Geara memperlihatkan sebuah relic berwarna merah. Berg terdiam. "Diam berarti iya, tapi kau terlambat," ujar Geara. "Apa maksudmu!?" tanya Berg. "Aku tak harus menjawabnya kan!?"

Mereka pun melanjutkan pertarungan. Hanya saja kali ini Berg mengalami kesulitan. "Akan kubantu!" Gilbert berlari ke arah Berg. "Tak perlu, dia akan kubereskan sendiri!" ucap Berg. "Dari mana kau punya kepercayaan diri seperti ini?" tanya Geara. Sekali lagi senjata mereka berbenturan dan membuat ledakan aura yang lebih dahsyat.

"Tak kusangka aku sampai kelelahan seperti ini..." ujar Viona dengan napas yang tersengal. "Aku juga..." sahut Viola. Keduanya sudah kehabisan tenaga dan terjatuh. "Hahahahaha!" "Kenapa tertawa?" "Nggak~ hahahahaha!" Viona yang bingung juga ikut tertawa. Mereka merasa puas setelah bertarung habis-habisan.

"Jangan cuma bisa lari!" "Lawan kami secara jantan!" "Apanya yang jantan kalau dua lawan satu!?" "Dia bukan temanku!" Claude terus-terusan menghindari serangan dari Sefer dan Enact. Ed dan Marco yang sudah bosan langsung menangkap Claude dan melemparnya ke Geara. "Apa!?" Tubuh Claude tertancap di lengan mekanik dan terluka parah. Geara melemparnya begitu saja. "Lihat kemana kau!?"

Berg memotong lengan mekanik dan menghancurkan pisau-pisau di armor Geara. "Apa!?" Geara yang terdesak menahan serangan Berg dengan pedangnya. Berg langsung memukul wajahnya. Pedang Lancelot terpental. Berg juga melepas pedangnya dan mulai menyerang Geara secara langsung. Pertarungan pedang pun menjadi pertarungan tangan kosong.

"Apa yang kau inginkan dengan melakukan semua ini!?" Berg menendang perut Geara. "Aku akan menghancurkan Grand Noir dan menciptakan kehidupan baru disini!" Geara memukul perut Berg. "Apa kau pikir semua orang menginginkan itu!?" "Aku tak peduli, aku berhak melakukan itu!" "Ego itu lah yang melahirkan penyimpangan di dunia!" Berg memukul jatuh Geara.

"Kau sudah kalah, Geara," ucap Berg. Geara tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya terdiam menghadap langit. "Kau tak mungkin mati semudah itu kan?" ujar Berg. Geara mulai bicara. "Apa yang akan kulakukan setelah ini..." Berg menarik kerah Geara. "Seperti yang sudah kita sepakati, seumur hidupmu kau akan jadi budakku, bodoh!" bentak Berg. Geara tercengang. "Sepertinya tidak buruk juga..." ucapnya.

Setelah pertarungan itu, tidak ada yang merasa kalah. Meskipun terluka, tidak ada rasa permusuhan. Diperlukan rasa pengertian yang besar untuk semua itu. Geara yang menyadari itu terharu dan hampir mengalirkan air mata. "Rasa pengertian yang besar yah..."